AKU & KALIMANTAN UTARA
Perkenalkan namaku Rina Kusuma, aku tinggal di Malinau,
Kalimantan Utara. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui letak Malinau. Hal
ini karena Malinau terletak di perbatasan Indonesia. Tahun 2016, Malinau
dinyatakan berada di wilayah perbatasan, bukan lagi di daerah 3T (Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal). Kalimantara Utara baru dibentuk tahun 2013, setelah
lima kabupaten menyetujui untuk bergabung menjadi satu provinsi. Lima kabupaten
tersebut adalah Tanjung Selor, Nunukan, KTT, Tarakan, dan Malinau. Letak ibu
kota berada di Tanjung Selor dan membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam dari
Malinau untuk menuju Tanjung Selor.
Aku
bukan orang asli Malinau, pada tahun 2002 aku mengikuti keluargaku pindah
kesana. Aku dilahirkan di Samarinda yang merupakan ibu kota dari Kalimantan
Timur. Samarinda bisa dikatakan kota, banyak fasilitas yang sudah dibangun,
mulai dari pusat perbelanjaan seperti Mall, kepadatan penduduk, gedung-gedung
pecakar langit. Hal inilah yang berbanding terbalik dengan yang aku rasakan di Malinau.
Tidak ada gedung-gedung tinggi, tidak ada Mall, pusat perbelanjaan hanya
berpusat di pasar. Menurutku tidak ada yang menarik, sampai akhirnya bapak
mengenalkan hutan-hutan yang di Malinau, menyusuri setiap sungai yang ada di
Malinau. Aku mulai merasa berbeda, sepertinya aku suka tinggal disini.
Umurku
masih delapan tahun ketika aku pindah ke Malinau. Pesawat Kalstar terbang
membawaku dari Samarinda menuju Tarakan, tidak banyak memori yang aku ingat,
tetapi aku ingat satu hal, ketika bapak duduk samping dan memasangkan sabuk
pengaman padaku. Dia mengajarkanku cara menggunakan sabuk pengaman dan
melepaskannya. Bagi anak kecil seumuranku, ketika memasang dan melepaskan sabuk
pengaman merupakan hal sangat menarik. Aku duduk tenang melihat ke arah jendela,
dan kebetulan aku duduk dikursi A yang terletak paling depan. Pemandangan dari
luar jendela membuat aku terperanga, ini pertama kalinya aku naik pesawat. Aku
pernah mendengar bahwa pulau kalimantan jika dilihat dari udara akan terlihat
seperti karpet hijau. Hal itu yang aku lihat sepanjang perjalananku menuju
Tarakan. Setibanya di Tarakan, kami menaiki Speed
Board sekitar kurang lebih tiga jam, karena cuma itulah satu-satunya
transportasi menuju Malinau saat itu. Aku tiba di Malinau saat sore hari, aku ingat
langit senja saat itu, aku, bapak, dan ibu, naik angkutan umum ke rumah
kontrakan di Malinau Seberang atau yang dikenal dengan Respen. Hanya ada satu
jembatan yang menghubungkan Respen dengan Malinau Kota, namanya adalah jembatan
Malinau. Sungai sesayap yang memisahkan malinau kota dengan malinau seberang
atau Respen.
Penduduk
Respen mayoritas suku punan, mereka tidak kuno seperti yang dikatakan
orang-orang. Mereka sudah seperti masyarakat pada umumnya, mengenakan pakaian,
menggunakan bahasa Indonesia, berlaku sopan, dan mereka sangat ramah. Kami
tinggal bersama mereka sekitar satu tahun, sampai akhirnya kami pindah ke rumah
baru yang berada di Malinau Kota.
Aku
mulai mengenal alam ketika aku berada di Respen. Sore itu aku dan saudara
sepupuku yang lebih awal pindah ke Malinau, memutuskan untuk mandi di sungai.
Masih jelas diingatanku sore itu, air yang hijau dan jernih, beberapa bunga ada
yang hanyut ke hilir sungai. Aku belum bisa berenang, tapi obrolan kami disore
itu tidak pernah terlupakan.
“Ina,
bisa berenang?” Tanya kakak sepupu laki-lakiku, namanya Rudi.
“Nggak,
kak. Ina, duduk dipinggir aja.” Jawabku polos sambil melihat hijaunya air dari
pinggir sungai.
“Ina,
duduk disini dulu, nanti kalau ada bapak atau ibu, Ina baru turun ya.” Jelas
Kak Rudi kepadaku dan kujawab dengan anggukan.
Beningnya
air yang memantulkan sinar matahari sore waktu itu. Dari ujung jalan aku melihat
bapak datang ke arahku dengan pakaian kerjanya. Aku lari berhamburan kesenangan
dan meminta bapak untuk mengajakku mandi di sungai. Sejujurnya aku tidak bisa
berenang sama sekali, tapi aku ingin belajar berenang.
“Pak,
Ina mau belajar berenang, biar bisa berenang kayak kak Rudi.” Pintaku sambil
menunjuk ke arah kak Rudi yang sedang berenang dipinggir sungai dengan tinggi
sungai hanya sepinggang anak umur 14 tahun dengan tinggi 150 sentimeter.
“Iya,
bapak ganti baju dulu ya, Ina. Habis itu kita belajar berenang.” Jawab bapak
sambil mengusap kepalaku.
“YEAY...”
bukan main aku senangnya waktu itu.
Belajar
berenang ternyata tidak mudah, berapa kali aku dihanyutkan dengan arus air,
tapi bapak selalu menangkapku. Aku tidak mudah menyerah, aku tetap terus
mencoba. Kata bapak “Kalau kamu menyerah sekarang, kamu nggak tahu rasanya
menang, padahal kamu tinggal satu langkah lagi.” Itulah kata-kata yang
ditanamkan untukku. Sekitar satu minggu aku terus belajar berenang. Sungai yang
berada di dekat rumah terbagi menjadi dua, karena terdapat pulau kecil
ditengahnya. Bagi mereka yang bisa berenang, mereka dapat berenang ke arah
pulau dari batang kayu yang terkait dengan tali dekat dengan rumah kontrakanku.
Beberapa anak sudah sangat mahir berenang dan mereka selalu berhasil menuju
pulau tersebut, namun tidak ada yang berani berenang dari pulau menuju hutan di
seberang pulau, karena arusnya sangat deras.
Yah,
inilah percobaan pertamaku, aku berenang menuju pulau. Aku melihat kak Rudi yang
sedang menungguku di pulau itu. Air cukup dalam hari itu, sekitar 100
sentimeter, untuk ukuranku, ya hampir melebihi dadaku. Aku mencoba untuk
berani, aku terjun dan aku mulai berenang, aku sempat panik, tapi aku tetap
berenang dan mengayunkan kaki serta tanganku.
“INA, BISAAA...” aku
berhasil menuju pulau di tengah sungai. Kami pun bermain hingga sore di pulau
tengah sungai itu. Tidak terasa sudah magrib dan air pun semakin dangkal. Kami
kembali ke batang kayu di pinggir sungai dengan berjalan kaki karena air yang
tingginya hanya sepinggangku waktu itu dan membersihkan diri di rumah. Aku
tidak menyangka ternyata aku tetap merasa bahagia walaupun tidak ada mall.
Mandi di sungai, bermain sepeda, berlari-larian dengan teman-teman membuatku
lupa akan asyiknya bermain di mall.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar