Jumat, 18 Agustus 2017

AKU, INDONESIA!



AKU & KALIMANTAN UTARA

            Perkenalkan namaku Rina Kusuma, aku tinggal di Malinau, Kalimantan Utara. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui letak Malinau. Hal ini karena Malinau terletak di perbatasan Indonesia. Tahun 2016, Malinau dinyatakan berada di wilayah perbatasan, bukan lagi di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Kalimantara Utara baru dibentuk tahun 2013, setelah lima kabupaten menyetujui untuk bergabung menjadi satu provinsi. Lima kabupaten tersebut adalah Tanjung Selor, Nunukan, KTT, Tarakan, dan Malinau. Letak ibu kota berada di Tanjung Selor dan membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam dari Malinau untuk menuju Tanjung Selor.
Aku bukan orang asli Malinau, pada tahun 2002 aku mengikuti keluargaku pindah kesana. Aku dilahirkan di Samarinda yang merupakan ibu kota dari Kalimantan Timur. Samarinda bisa dikatakan kota, banyak fasilitas yang sudah dibangun, mulai dari pusat perbelanjaan seperti Mall, kepadatan penduduk, gedung-gedung pecakar langit. Hal inilah yang berbanding terbalik dengan yang aku rasakan di Malinau. Tidak ada gedung-gedung tinggi, tidak ada Mall, pusat perbelanjaan hanya berpusat di pasar. Menurutku tidak ada yang menarik, sampai akhirnya bapak mengenalkan hutan-hutan yang di Malinau, menyusuri setiap sungai yang ada di Malinau. Aku mulai merasa berbeda, sepertinya aku suka tinggal disini.
Umurku masih delapan tahun ketika aku pindah ke Malinau. Pesawat Kalstar terbang membawaku dari Samarinda menuju Tarakan, tidak banyak memori yang aku ingat, tetapi aku ingat satu hal, ketika bapak duduk samping dan memasangkan sabuk pengaman padaku. Dia mengajarkanku cara menggunakan sabuk pengaman dan melepaskannya. Bagi anak kecil seumuranku, ketika memasang dan melepaskan sabuk pengaman merupakan hal sangat menarik. Aku duduk tenang melihat ke arah jendela, dan kebetulan aku duduk dikursi A yang terletak paling depan. Pemandangan dari luar jendela membuat aku terperanga, ini pertama kalinya aku naik pesawat. Aku pernah mendengar bahwa pulau kalimantan jika dilihat dari udara akan terlihat seperti karpet hijau. Hal itu yang aku lihat sepanjang perjalananku menuju Tarakan. Setibanya di Tarakan, kami menaiki Speed Board sekitar kurang lebih tiga jam, karena cuma itulah satu-satunya transportasi menuju Malinau saat itu. Aku tiba di Malinau saat sore hari, aku ingat langit senja saat itu, aku, bapak, dan ibu, naik angkutan umum ke rumah kontrakan di Malinau Seberang atau yang dikenal dengan Respen. Hanya ada satu jembatan yang menghubungkan Respen dengan Malinau Kota, namanya adalah jembatan Malinau. Sungai sesayap yang memisahkan malinau kota dengan malinau seberang atau Respen.
Penduduk Respen mayoritas suku punan, mereka tidak kuno seperti yang dikatakan orang-orang. Mereka sudah seperti masyarakat pada umumnya, mengenakan pakaian, menggunakan bahasa Indonesia, berlaku sopan, dan mereka sangat ramah. Kami tinggal bersama mereka sekitar satu tahun, sampai akhirnya kami pindah ke rumah baru yang berada di Malinau Kota.
Aku mulai mengenal alam ketika aku berada di Respen. Sore itu aku dan saudara sepupuku yang lebih awal pindah ke Malinau, memutuskan untuk mandi di sungai. Masih jelas diingatanku sore itu, air yang hijau dan jernih, beberapa bunga ada yang hanyut ke hilir sungai. Aku belum bisa berenang, tapi obrolan kami disore itu tidak pernah terlupakan.
“Ina, bisa berenang?” Tanya kakak sepupu laki-lakiku, namanya Rudi.
“Nggak, kak. Ina, duduk dipinggir aja.” Jawabku polos sambil melihat hijaunya air dari pinggir sungai.
“Ina, duduk disini dulu, nanti kalau ada bapak atau ibu, Ina baru turun ya.” Jelas Kak Rudi kepadaku dan kujawab dengan anggukan.
Beningnya air yang memantulkan sinar matahari sore waktu itu. Dari ujung jalan aku melihat bapak datang ke arahku dengan pakaian kerjanya. Aku lari berhamburan kesenangan dan meminta bapak untuk mengajakku mandi di sungai. Sejujurnya aku tidak bisa berenang sama sekali, tapi aku ingin belajar berenang.
“Pak, Ina mau belajar berenang, biar bisa berenang kayak kak Rudi.” Pintaku sambil menunjuk ke arah kak Rudi yang sedang berenang dipinggir sungai dengan tinggi sungai hanya sepinggang anak umur 14 tahun dengan tinggi 150 sentimeter.
“Iya, bapak ganti baju dulu ya, Ina. Habis itu kita belajar berenang.” Jawab bapak sambil mengusap kepalaku.
“YEAY...” bukan main aku senangnya waktu itu.
Belajar berenang ternyata tidak mudah, berapa kali aku dihanyutkan dengan arus air, tapi bapak selalu menangkapku. Aku tidak mudah menyerah, aku tetap terus mencoba. Kata bapak “Kalau kamu menyerah sekarang, kamu nggak tahu rasanya menang, padahal kamu tinggal satu langkah lagi.” Itulah kata-kata yang ditanamkan untukku. Sekitar satu minggu aku terus belajar berenang. Sungai yang berada di dekat rumah terbagi menjadi dua, karena terdapat pulau kecil ditengahnya. Bagi mereka yang bisa berenang, mereka dapat berenang ke arah pulau dari batang kayu yang terkait dengan tali dekat dengan rumah kontrakanku. Beberapa anak sudah sangat mahir berenang dan mereka selalu berhasil menuju pulau tersebut, namun tidak ada yang berani berenang dari pulau menuju hutan di seberang pulau, karena arusnya sangat deras.
Yah, inilah percobaan pertamaku, aku berenang menuju pulau. Aku melihat kak Rudi yang sedang menungguku di pulau itu. Air cukup dalam hari itu, sekitar 100 sentimeter, untuk ukuranku, ya hampir melebihi dadaku. Aku mencoba untuk berani, aku terjun dan aku mulai berenang, aku sempat panik, tapi aku tetap berenang dan mengayunkan kaki serta tanganku.
“INA, BISAAA...” aku berhasil menuju pulau di tengah sungai. Kami pun bermain hingga sore di pulau tengah sungai itu. Tidak terasa sudah magrib dan air pun semakin dangkal. Kami kembali ke batang kayu di pinggir sungai dengan berjalan kaki karena air yang tingginya hanya sepinggangku waktu itu dan membersihkan diri di rumah. Aku tidak menyangka ternyata aku tetap merasa bahagia walaupun tidak ada mall. Mandi di sungai, bermain sepeda, berlari-larian dengan teman-teman membuatku lupa akan asyiknya bermain di mall.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar