Jumat, 18 Agustus 2017

Aku, Kamu, dan Secangkir Susu Coklat II



Ruangan ukuran 3 x 3 meter dengan rak buku berisi lembaran-lembaran not angka dan alat musik. Dua orang sedang berbicara serius di tengah ruangan sambil duduk dan makan gorengan. Bu Ayun sedang membantu Fina mengisi formulir IMODO yang akan diikuti Fina. Keduanya kaget melihat syarat tampil di IMODO.
“Fina, kamu yakin mau ikut IMODO?” Tanya bu Ayun pesimis.
“Gimana ya bu? Syaratnya begitu sih bu, masa disuruh ciptain lagu Orkes dengan Tema Hati yang Tersakiti. Kan saya baper.” Jawab Fina galau.
“ya udah, kamu ikut dulu saja, soal lagu, kamu pikirkan sendiri.” Lagi bu Ayun memberikan solusi yang bukan solusi.
“halah ibu, ya sudah deh, saya ikutan. Soal pak Yadi gimana bu?” tanya Fina lagi.
“kan sudah saya bilang aman, kamu tahu gak, disini lagi ada penerimaan dosen baru. Kamu gak berencana daftar?” tanya bu Ayun sambil mengeluarkan form pendaftaran dosen.
“bu, saya mau banget, tapi saya kan belum wisuda.” Jawab Fina seadanya.
“ya kamu segera daftar wisuda sekarang. Kamu kurang apa sih? Pak Yadi aman, saya tidak ada revisi, bu Gugun sudah kamu revisi, Pak Lolo tinggal tanda tangan. Cepat selesaikan, saya tunggu jam 5 di sini. Kamu yang nyupir. Pakai mobil saya saja, nanti mobil kamu biar ditaruh di rumah saya. Kita nonton di CGV Transmart ya.” Ajak bu Ayun yang langsung diiyakan oleh Fina.
Lorong kampus mulai dilewati oleh Fina untuk mencari pak Lolo. Setibanya di depan ruangan pak Lolo, Fina melirik sedikit lewat jendela.
“Fina, tidak usah ngintip, saya disini.” Suara bass pak Lolo terdengar dari belakang.
“maaf pak, saya tadi niatnya ngetok setelah ngintip.” Jawab Fina jujur.
“lagian kamu ngapain ngintip-ngintip sih, mana yang harus saya tanda tangani?” tanya pak Lolo sembari Fina memberikan lembaran kepada pak Lolo. “saya dengar kamu mau ikut IMODO itu ya?” tanya pak Lolo kepo.
“iya pak, tapi saya belum buat lagunya sebagai syarat ikut pak.” Jawab Fina.
“oh begitu, ya buat saja, kalau sudah segera di rekam, terus daftar.” Solusi dari pak Lolo yang bikin gregetan.
“iya, pak. Saya usahakan secepatnya.” Jawab Fina singkat.
“kamu gak nonton spinner-man?” tanya pak Lolo lagi.
“saya baru mau nonton nanti malam sama bu Ayun.” Jawab Fina melirik tajam ke pak Lolo. Yah sudah bukan rahasia lagi kalau pak Lolo suka dengan bu Ayun dan pak Lolo suka kepo kegiatan bu Ayun melalui Fina.
“saya kok tidak diajak ya. Ah ya sudah, kamu jaga bu Ayun ya. Jangan sampai ada sesuatu yang mendekati bu Ayun.” Perintah pak Lolo.
“iya, pak. Seperti biasakan pak.” Jawab Fina.
“ya sudah, sampaikan salam cinta saya untuk bu Ayun ya.” Perintah Pak Lolo yang tidak bisa ditidakkan.

AKU, INDONESIA!



AKU & KALIMANTAN UTARA

            Perkenalkan namaku Rina Kusuma, aku tinggal di Malinau, Kalimantan Utara. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui letak Malinau. Hal ini karena Malinau terletak di perbatasan Indonesia. Tahun 2016, Malinau dinyatakan berada di wilayah perbatasan, bukan lagi di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Kalimantara Utara baru dibentuk tahun 2013, setelah lima kabupaten menyetujui untuk bergabung menjadi satu provinsi. Lima kabupaten tersebut adalah Tanjung Selor, Nunukan, KTT, Tarakan, dan Malinau. Letak ibu kota berada di Tanjung Selor dan membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam dari Malinau untuk menuju Tanjung Selor.
Aku bukan orang asli Malinau, pada tahun 2002 aku mengikuti keluargaku pindah kesana. Aku dilahirkan di Samarinda yang merupakan ibu kota dari Kalimantan Timur. Samarinda bisa dikatakan kota, banyak fasilitas yang sudah dibangun, mulai dari pusat perbelanjaan seperti Mall, kepadatan penduduk, gedung-gedung pecakar langit. Hal inilah yang berbanding terbalik dengan yang aku rasakan di Malinau. Tidak ada gedung-gedung tinggi, tidak ada Mall, pusat perbelanjaan hanya berpusat di pasar. Menurutku tidak ada yang menarik, sampai akhirnya bapak mengenalkan hutan-hutan yang di Malinau, menyusuri setiap sungai yang ada di Malinau. Aku mulai merasa berbeda, sepertinya aku suka tinggal disini.
Umurku masih delapan tahun ketika aku pindah ke Malinau. Pesawat Kalstar terbang membawaku dari Samarinda menuju Tarakan, tidak banyak memori yang aku ingat, tetapi aku ingat satu hal, ketika bapak duduk samping dan memasangkan sabuk pengaman padaku. Dia mengajarkanku cara menggunakan sabuk pengaman dan melepaskannya. Bagi anak kecil seumuranku, ketika memasang dan melepaskan sabuk pengaman merupakan hal sangat menarik. Aku duduk tenang melihat ke arah jendela, dan kebetulan aku duduk dikursi A yang terletak paling depan. Pemandangan dari luar jendela membuat aku terperanga, ini pertama kalinya aku naik pesawat. Aku pernah mendengar bahwa pulau kalimantan jika dilihat dari udara akan terlihat seperti karpet hijau. Hal itu yang aku lihat sepanjang perjalananku menuju Tarakan. Setibanya di Tarakan, kami menaiki Speed Board sekitar kurang lebih tiga jam, karena cuma itulah satu-satunya transportasi menuju Malinau saat itu. Aku tiba di Malinau saat sore hari, aku ingat langit senja saat itu, aku, bapak, dan ibu, naik angkutan umum ke rumah kontrakan di Malinau Seberang atau yang dikenal dengan Respen. Hanya ada satu jembatan yang menghubungkan Respen dengan Malinau Kota, namanya adalah jembatan Malinau. Sungai sesayap yang memisahkan malinau kota dengan malinau seberang atau Respen.
Penduduk Respen mayoritas suku punan, mereka tidak kuno seperti yang dikatakan orang-orang. Mereka sudah seperti masyarakat pada umumnya, mengenakan pakaian, menggunakan bahasa Indonesia, berlaku sopan, dan mereka sangat ramah. Kami tinggal bersama mereka sekitar satu tahun, sampai akhirnya kami pindah ke rumah baru yang berada di Malinau Kota.
Aku mulai mengenal alam ketika aku berada di Respen. Sore itu aku dan saudara sepupuku yang lebih awal pindah ke Malinau, memutuskan untuk mandi di sungai. Masih jelas diingatanku sore itu, air yang hijau dan jernih, beberapa bunga ada yang hanyut ke hilir sungai. Aku belum bisa berenang, tapi obrolan kami disore itu tidak pernah terlupakan.
“Ina, bisa berenang?” Tanya kakak sepupu laki-lakiku, namanya Rudi.
“Nggak, kak. Ina, duduk dipinggir aja.” Jawabku polos sambil melihat hijaunya air dari pinggir sungai.
“Ina, duduk disini dulu, nanti kalau ada bapak atau ibu, Ina baru turun ya.” Jelas Kak Rudi kepadaku dan kujawab dengan anggukan.
Beningnya air yang memantulkan sinar matahari sore waktu itu. Dari ujung jalan aku melihat bapak datang ke arahku dengan pakaian kerjanya. Aku lari berhamburan kesenangan dan meminta bapak untuk mengajakku mandi di sungai. Sejujurnya aku tidak bisa berenang sama sekali, tapi aku ingin belajar berenang.
“Pak, Ina mau belajar berenang, biar bisa berenang kayak kak Rudi.” Pintaku sambil menunjuk ke arah kak Rudi yang sedang berenang dipinggir sungai dengan tinggi sungai hanya sepinggang anak umur 14 tahun dengan tinggi 150 sentimeter.
“Iya, bapak ganti baju dulu ya, Ina. Habis itu kita belajar berenang.” Jawab bapak sambil mengusap kepalaku.
“YEAY...” bukan main aku senangnya waktu itu.
Belajar berenang ternyata tidak mudah, berapa kali aku dihanyutkan dengan arus air, tapi bapak selalu menangkapku. Aku tidak mudah menyerah, aku tetap terus mencoba. Kata bapak “Kalau kamu menyerah sekarang, kamu nggak tahu rasanya menang, padahal kamu tinggal satu langkah lagi.” Itulah kata-kata yang ditanamkan untukku. Sekitar satu minggu aku terus belajar berenang. Sungai yang berada di dekat rumah terbagi menjadi dua, karena terdapat pulau kecil ditengahnya. Bagi mereka yang bisa berenang, mereka dapat berenang ke arah pulau dari batang kayu yang terkait dengan tali dekat dengan rumah kontrakanku. Beberapa anak sudah sangat mahir berenang dan mereka selalu berhasil menuju pulau tersebut, namun tidak ada yang berani berenang dari pulau menuju hutan di seberang pulau, karena arusnya sangat deras.
Yah, inilah percobaan pertamaku, aku berenang menuju pulau. Aku melihat kak Rudi yang sedang menungguku di pulau itu. Air cukup dalam hari itu, sekitar 100 sentimeter, untuk ukuranku, ya hampir melebihi dadaku. Aku mencoba untuk berani, aku terjun dan aku mulai berenang, aku sempat panik, tapi aku tetap berenang dan mengayunkan kaki serta tanganku.
“INA, BISAAA...” aku berhasil menuju pulau di tengah sungai. Kami pun bermain hingga sore di pulau tengah sungai itu. Tidak terasa sudah magrib dan air pun semakin dangkal. Kami kembali ke batang kayu di pinggir sungai dengan berjalan kaki karena air yang tingginya hanya sepinggangku waktu itu dan membersihkan diri di rumah. Aku tidak menyangka ternyata aku tetap merasa bahagia walaupun tidak ada mall. Mandi di sungai, bermain sepeda, berlari-larian dengan teman-teman membuatku lupa akan asyiknya bermain di mall.

Senin, 07 Agustus 2017

Aku, Kamu dan Secangkir Susu Coklat I

Terik matahari mulai menyinari ruangan, tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Semakin tinggi terik matahari maka semakin siang juga Fina untuk bangun dari tidurnya. Fina adalah mahasiswa jurusan musik yang katanya cuma bisa tidur kalau waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi, dan baru bisa bangun pukul 10.00 siang. Fina masih terperangkap di dunia mimpinya, yah Fina masih tertidur pulas dengan segerombolan boneka yang tidak dikenal dan lembar-lembaran lagu yang sedang Fina pelajari untuk tes hari senin tepatnya dua hari lagi.
DDRRRTT DRRRTT DRRRTT ....  suara handphone Fina bergetar dan tertulis dilayar “DOSPEM AYUN EKATI”. Fina terbangun dan langsung mengangkat telpon tanpa melihat jelas siapa yang menelpon.
“Halo, yu.. kenapa?”  suara serak baru bangun tidur terdengar.
“yak yuk yak yuk... FINA, Saya dosen pembimbing kamuu...” Terdengar suara teriakan di telpon yang membuat Fina segera menjauhkan telpon dari telinganya dan melihat nama penelpon.
“OH TUHAN, KANJENG, GUSTI...” Kagetnya Fina sambil melempar handphone ke udara dan menangkapnya kembali.
“Iya, Halo bu, selamat pagi.. ada apa ya bu?” jawab Fina dengan kesadaran 100%.
“Kamu dimana sekarang? Saya mau daftarkan kamu di acara musik internasional, thesis kamu kan sudah diambang penyelesaian, kamu juga nganggur, mending ikut acara “International Music Opera Dangdut Orkes” atau IMODO begitu, bagaimana hahahha?” tanya bu Ayun sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Bu, bukannya thesis saya itu diambang kehancuran ya? Karna pak Yadi waktu nguji, malah nyuruh saya bikin lagu terus mau dites hari senin? Tapi gak papa sih bu, acaranya oke juga. Saya daftar bu.” Jawab Fina sambil menata rambutnya dan bebenah diri di kamarnya.
“saya tunggu kamu dikampus jam 9, kamu harus melengkapi datanya dulu. Soal pak Yadi, tenang saja. Beliau tadi bertemu saya cerita soal kamu, sebenarnya pak Yadi itu hanya bercanda kemarin.” Jelas bu Ayun.
“Bercanda?? Saya buat lagunya gak pake tidur loh bu, judulnya aja udah susah, mikir liriknya, lagunya, terus pak Yadi Cuma bercanda?” jawab Fina sambil cakar-cakar bantal.
“ya, Pak Yadi Cuma bercanda hahaha... judul request-nya pak Yadi kemarin apa ya?” tanya Bu Ayun penasaran.
“Besar Pasak daripada Tiang, bu. Bayangin judulnya aja udah ga tau mau nulis lirik apa.” Jawabku sambil memanaskan air untuk makan popmie.
“lagian, judul thesis kamu juga sih kemarin.. pengembangan pepatah indonesia dalam lagu-lagu untuk meningkatkan kreativitas pemusik indonesia.” Jawab bu Ayun sambil tertawa.
“lagian ibu juga yang setujuin judul tesis saya begitu.” Jawab Fina sambil nusuk garpu pop mie ke dada...
“saya pikir judul kamu lumayan keren juga. Ah ya sudahlah, cepat ke kampus, saya tunggu di ruangan ya. Setelah itu kita makan siang, kamu nanti malam sibuk? Kita nonton film Spinner-man ya....” ajak bu Ayun.
“ibu, mau bayarin?” tanya Fina serius.
“ah ya sudahlah, kali ini saya bayarin. Tapi, kamu yang nyupir hahaha” balas bu Ayun.
Hubungan bu Ayun dan Fina memang sangat akrab, keduanya terpaut 10 tahun tapi keduanya memiliki hobi yang sejenis. Bu Ayun dan Fina mulai akrab sejak Fina menjadi mahasiswa bimbingannya yang selalu datang jam 1 siang. Padahal janjian yang diminta bu Ayun jam 9 pagi, tapi tetap saja si Fina datangnya jam 1 siang, dengan alasan yaitu beliin bu Ayun makan siang lebih dulu. Padahal Fina belum bangun tidur saja dan bu Ayun sudah makan siang dikantin, tapi tetap saja Fina membelikan gorengan untuk bu Ayun, gorengannya dari kantin tempat bu Ayun makan siang. Selama bimbingan yang makan gorengan bukan bu Ayun, tapi Fina.
Fina adalah gadis umur 23 tahun yang sedang mengambil S2 di Universitas terhits di Indonesia. ISI (Institut Seni Indonesia)  adalah universitas seni yang terkenal di Indonesia. Fina tinggal di Yogyakarta, lebih tepatnya di daerah Sleman. Sementara Universitas tempat Fina kuliah berada di Bantul. Jadi, bisa dibayangin kan pukul 11.00 Fina bangun, terus mandi, dan siap-siap plus makan siang itu sudah menunjukkan pukul 12.00, kemudian berangkat menuju kampus tercinta yah paling tidak pukul 13.00 baru sampai. Bagi Fina, tidur itu harus 7 jam. Kesuksessan ditempuh dengan kerja keras. Semua sudah ada di tangan Fina, hanya kurang pasangan saja. Fina masih terperangkap dengan secangkir susu coklat yang selalu Fina minum sebelum tidur. Yah, secangkir susu coklat yang membawa banyak cerita dan warna keindahan di setiap alunan musik yang Fina buat. Secangkir susu coklat yang membawa cerita indah bak di negeri dongeng.
Fina terbangun tepat pukul 08.00 karena telpon dari Bu Ayun, mau tidak mau Fina harus kembali tidur dan bangun tepat pukul 11.00. Fina mulai bersiap-siap menuju kampus dengan baju putih dilapisi blazer warna pink kalem, celana putih, dan sepatu flat berwarna cream. Walaupun agak sedikit berantakan, tetapi Fina agak lumayan di dunia fashion. Fina belum tahu ingin makan siang apa hari ini, rasanya ia terlalu malas untuk makan siang. Belum lagi nanti dia akan nonton dengan bu Ayun, sebelum nonton pasti bu Ayun akan mengajak makan besar dulu seperti biasanya.